Thursday, May 22, 2008

Kebangkitan nasional di tengah pesimisme massal

Kebangkitan nasional di tengah pesimisme massal1
Oleh : Imron Rosidin2

100 tahun sudah bangsa ini berdiri tegak dengan semangat kebangkitannya. Kita semua sepakat untuk tidak menjadikan momentum kebangkitan ini menjadi ritual massal berskala nasional. Kita semua menyadari bahwa setiap kita memiliki konsekuensi tanggungjawab sebagai bagian dari apa yang disebut nasionalisme, sebab kita adalah individu-individu dengan identitas kebangsaan Indonesia. Nasionalisme menjadikan kita tidak hanya memiliki identitas kebangsaan, nasionalisme menjadikan kita sebagai pribadi yang mau tidak mau bertanggungjawab pula terhadap keberlangsungan dan kelestarian nasionalisme. Apapun konsepsi dasar, pemahaman dari interpretasi tekstual dan konseptualnya, keyakinan dari implementasinya, nasionalisme nyatanya menunjuk diri kita sebagai “yang ber-identitas Indonesia”.

Sebagai “yang ber-identitas Indonesia” maka recana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian disikapi dengan dilema Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus bagi masyarakat merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa disikapi dengan kebijakan-kebijakan lokal. Tidak kurang Menteri koordinator kesejahteraan rakyat menyebut secara implisit, bahwa permasalahan rencana kenaikan harga BBM termasuk penyikapannnya melalui BLT termasuk pada klasifikasi permasalahan kluster keamanan sosial (Pikiran Rakyat 15 Mei 2008). Kita boleh saja bertanya, kenapa permasalahan ini memiliki korelasi dengan kondisi keamanan?, lalu siapa yang mengamankan apa dan atau siapa?, kehidupan sosial milik siapa yang dimaksud?, jaminan keamanan yang berlaku untuk siapa dan sampai kapan itu berlaku?.

Jika momentum kebangkitan nasional tahun ini diwarnai dengan hiruk pikuk rencana kenaikan harga BBM maka sejatinyalah nasionalisme tidak akan pernah luntur oleh karenanya. Nasionalisme ibarat sampan berpenumpang massal di tengah-tengah lautan luas, diterjang ribuan gelombang realitas selama seratus tahun, pernah mengalami rengkah akibat krisis moneter dan keraguan kolektif dalam perjalan menuju reformasi.

Namun lihatlah, nasionalisme apapun bentuknya saat ini tetap bersahaja di tengah –tengah lautan tak bernama. Nasionalisme menjadikan kita sebagai masyarakat warga yang yakin tengah mengayuhkan dayung ke arah yang tepat menuju kesejahteraan bersama, meskipun dengan metodologi yang berbeda. Kita masyarakat warga terbukti telah bersama mengarungi lautan problematika bersama bangsa. Kita teruji oleh waktu.
Dalam dimensi yang sedikit berbeda, Justifikasi terhadap pentingnya menaikan harga BBM tentu saja tidak semerta lahir dari analisis instan kondisi perekonomian global saat ini. Dalam skala nasional juga telah disadari, analisis dampak kenaikan harga BBM 30 persen secara umum akan menaikkan tambahan inflasi 1,8-2,5 persen yang berarti akan terjadi penurunan daya beli masyarakat secara luas dan signifikan. Dalam kondisi ini, upaya yang bisa dilakukan adalah memberikan transfer untuk mengembalikan daya beli, dengan uang, subsidi raskin, minyak goreng, dan kedelai. Jadi, ini bukanlah sebuah konsep yang baru. BLT dalam hal ini juga tidak bisa dinyatakan sebagai solusi instan tapi satu hal yang terencana.
Reaksi keras dari masyarakat, tokoh masyarakat, pemimpin lokal masyarakat, kalangan birokrat dari mulai RT, RW, Lurah, Kepala Desa, Camat sampai dengan Walikota dan Bupati lebih terdengar keras menyuarakan penolakan terhadap penyikapan yang diberlakukan kepada masyarakat berupa BLT daripada kenaikan BBM-nya. Mahasiswa yang justru lebih keras meneriakan penolakan rencana kenaikan BBM daripada rencana penyikapan dalam bentuk BLT plus.
Yang menarik untuk diungkapkan disini ialah, pertama, tumbuh kembangnya kebangkitan nasional memang harus diakui lahir dan bersemi di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memahami –dengan segala keterbatasannya- penolakan rencana kenaikan harga BBM berdasar pengalaman historis akan tetap berujung pada ketetapan negara untuk menaikan harga BBM. Energi kolektif dirasakan terlalu mubadzir digunakan untuk menolak rencana kenaikan harga BBM. Kedua, pengalaman historis membuktikan masyarakat –dengan seluruh usaha maksimalnya- tetap bertahan meskipun berkali-kali harga BBM naik. Bukankah ini kebangkitan nasional sesungguhnya?.

Ketiga, kebangkitan nasional mensyaratkan terjadinya perubahan sikap menuju ke arah berkehidupan yang lebih baik. Inilah yang tengah diajarkan masyarakat kepada negara ini dengan melakukan “dialog” bersama kebijakan penyaluran BLT plus yang secara praktis justru membahayakan keamanan sosial sebenarnya. Di ranah edukatif, BLT plus di proyeksi bukanlah medium yang tepat untuk mendidik cara berkehidupan yang baik bagi masyarakat.
Optimisme menatap masa depan seperti layaknya yang diharapkan dari kebangkitan nasional tampaknya telah terlebih dahulu dimaknai oleh masyarakat Indonesia. Namun tidak sebaliknya oleh negara ini, pesimisme menanggulangi gejolak keamanan sosial menjadikan rencana kenaikan harga BBM tampaknya akan tetap berlanjut. Sementara itu, BLT semakin memperjelas pesimisme negara ini untuk melakukan perubahan sikap massalnya kepada masyarakat warga.
Pesimisme ini sepertinya akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari agenda kebangkitan nasional setiap tahunnya, jika dan hanya jika negara ini tidak bijak belajar dari apa yang masyarakat warga ungkapkan dengan penuh sahaja. Nyatanya memang kebangkitan nasional memang milik masyarakat warga.
Mungkin ada pendekatan dan sistem aplikasi yang berbeda dalam memaknai kebangkitan nasional ini oleh negara, ditandai dengan tetap berencana menaikan harga BBM dan juga tetap dengan skenario BLT nya. Semoga pada tahun yang ke-101 kebangkitan nasional Indonesia semua dapat benar-benar merasakan kebangkitan dan belajar bersama arti kebangkitan untuk semua.

1 Ditulis untuk Harian Umum Pikiran Rakyat. DAS Citarum, 14 Jumadil Uula 1429 H.
2 Pekerja Sosial. Green Peace Indonesia (supporter ID 4586)