Monday, March 24, 2008

Islam Aceh Vs Islam Jawa

Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menimbulkan kontraversi, mencari sensasi atau provokasi Aceh dengan Jawa. Dan tulisan ini juga tidak bermaksud menggores kembali luka ketidak harmonisan sebagian bangsa Aceh dengan bangsa Jawa yang pada saat ini suduh mulai sembuh. Tapi tulisan ini hanyalah sebuah review perkembangan sejarah masuknya Islam di Nusantara yang di mulai dari Perlak dan Pasei(Aceh) hingga berkembang maju di negeri Jawa dan Asia Tenggara .

Kedudukan manusia dan kebudayaan di bumi Aceh senantiasa menyatu antara satu dengan lainnya. Sebelum Islam datang ke Aceh, orang-orang Aceh dengan baiknya tunduk dan patuh kepada ajaran agama Hindu dan Budha yang menjadi kepercayaan mereka. Sebaliknya setelah Islam dating sampai ke hari ini seratus persen bangsa Aceh menerimanya dan mengamalkan dalam kehidupan mereka secara sempurna sehingga susah mau dipisahkan antara Aceh dengan Islam, demikian menyatunya Islam dengan Aceh dan bangsanya.

Penyatuan ini disifatkan oleh para pakar sejarah Aceh sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan di antara keduanya. Karena keadaan yang demikian dekat maka mereka menukilkannya sebagai hokum Islam di satu sisi dan adat Aceh di sisilain, keduanya senantiasa menyatu dan tak boleh dipisahkan sampai kapan pun. Hadih Maja (pepatah Aceh yang mengandung makna hukum) mengisyaratkan suasana ini sebagai Hukôm ngön adat lagèè zat ngön sifeute (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat)

Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam pertama bertapak adalah di Perlak (sekarang Peureulak) Aceh Timur. Dari sinilah Islam dan kebudayaan Islam itu bermula serta menyebar ke seluruh tanah melayu dengan berbagai aktivitas yang dijalankan ummatnya. Masyarakat Aceh pada masa itu dengan mudah sahaja dapat menerima dan menyatu dengan Islam serta budaya yang dibawa Islam itu sendiri. Keadaan ini sangatlah berbeda dengan kondisi dan situasi masyarakat pulau Jawa yang lebih memilih Hindu dan lari ke pulau Bali ketika Islam dibawa Falatehan dari Pasai ke sana. Sampai sekarang keadaan orang jawa masih sangat terikat dengan kebudayaan Hindu dan Jawanya. Inilah yang membuat seorang perwira muda Republik Islam Aceh (RIA) S.S Djuangga Batubara menyayangkan :”Adalah sangat menyedihkan kiranya bagi orang Islam Jawa, ikatan darah Jawa lebih kental daripada ikatan Islam”. Apabila berhadapan antara Islam dengan Jawa, mereka tetap memilih Jawa dan meninggalkan Islam, seperti kasus penerimaan azas tunggal Pancasila sebagai pengganti Islam di masa Orde Baru pimpinan Soeharto. Penolakan B.J. Habibie yang bukan Jawa yang terkenal dekat dengan Islam coba maju untuk menjadi Presiden RI ketiga, maka ramai-ramai orang Jawa mengganjalnya dengan menolak pertanggung jawabannya sebagai presiden pengganti Soeharto. Sebaliknya orang-orang Jawa tersebut berlomba-lomba mempersiapkan Abdurrahman Wahid yang sekuler dan plin plan lagi buta menjadi presiden RI keempat. Selanjutnya ketika berhadapan antara Hamzah Haz dengan Megawati Soekarnoputri dalam rangka merebut kursi wakil presiden, maka semua orang Jawa di MPR termasuk Amin Rais menggalang kekuatan untuk memilih Megawati dan membiarkan Hamzah Haz karena Mega orang Jawa dah Hamzah orang Kalimantan. Dan terakhir Golkarnya Jawa lebih ikhlas memperjuangkan Sosilo Bambang Yudoyono yang Partai Demokrat sebagai Presiden dengan menempatkan Yusuf Kalla sebagai Wapres karena bukan Jawa walaupun GOLKAR. Kondisi seumpama ini masih banyak terjadi dalam persoalan dan tempat yang berbeda.

Kondisi serupa juga dapat dilihat ketika tokoh Idealis Islam Prof dr. Deliar Noer mengajak tokoh veteran Nahdhatul Ulama (NU), K.H.Masyku untuk tetap bertahan dengan azas Islam dan menolak azas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi itu dalam era Orde Baru pimpinan Soeharto. Pada masa itu sang Kiai menjawab : “hanya kamu sahaja yang Nampak idealis di Negara yang serba Pancasila ini”. Lain pula dengan tanggapan A.R Fachruddin yang memimpin Muhammadiyah waktu itu, ketika sang professor mengajaknya untuk bertahan dengan Azas Islam, setelah kehabisan cara dan hujjah untuk menolaknya dengan ucapan yang sangat tulus menjawab : “saya ini kan orang Jawa professor ”, sangat susah untuk menolak ajakan pemimpin Jawa. Para pakar poltik menafsirkan bahwa bagi orang Jawa ungkapan ini bermakna ; apabila berhadapan Islam dengan Jawa maka mereka akan memilih Jawa dan meninggalkan Islam.

Dengan keadaan seperti itu maka tidaklah mengherankan kita kalau ada orang yang berkesimpulan, persoalan kemajuan dan idealism Islam tidak mungkin ada di Jawa dan tidak bias kita harapkan pada orang-orang Jawa. Mereka yang berkesimpulan demikian mangaitkan kesimpulannya itu kepada adat dan budaya hidup orang-orang Jawa baik di Jawa, di luar Jawa maupun luar negeri. Persoalan tidur satu rumah yang tidak punya kamar oleh dua sampai tiga pasang keluarga menjadi perihal biasa kepeda mereka sehingga bias saling melihat dalam setiap aksi dan kegiatan. Mandi satu tempat yang bercampur laki dan perempuan tampa busana yang memadai sudah lumrah dan menjadi budayanya mereka. Mandi dan buang air secara beramai-ramai di sungai dan tempat-tempat terbuka lainnya bukan hal yang aneh bagi mereka. Sehingga demikian maka patutlah kita simak pepatah Aceh yang menyebutkan : “Meunyö kon droe mandum gob, meunyö kon ie mandum luhob dan meunyo kon pageue mandum jeuneurob”(kalau bukan diri semua orang. Kalau bukan air semua lumpur dan kalau bukan pagar semua tiang). Untuk itu orang Aceh berkesimpulan : “Bu bit, ie bit, ma droe, du droe, biek droe dan nanggroe droe”.