Monday, September 10, 2007

MARHABAN YA RAMADHAN

Setiap tahun menjelang Ramadhan, umat Islam Indonesia selalu disibukkan oleh kapan hari pertama puasa। Setelah itu, kita sibuk kapan puasa berakhir. Sungguh ''kebodohan' ' yang tak terperikan. Di zaman ketika ilmu pengetahuan dan teknologi sudah bisa menghitung secara relatif akurat tentang perputaran matahari, bulan, dan bumi seperti saat ini, umat Islam masih tak kunjung mampu menyelesaikan masalah ini.

Kebodohan di sini bukan berarti ketakmampuan akal kita dalam memahami fenomena alam. Tapi, ketakmampuan meredam ego paham keislaman dan ketakmampuan memahami inti pesan Islam. Ini seolah paralel dengan makna jahiliyah yang menghinggapi orang-orang jazirah Arab ketika Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasulullah. Apakah kita mau disebut sebagai orang-orang yang masih berperilaku jahiliyah setelah kedatangan Islam selama hampir 15 abad? Tentu kita tak mau.

Namun kebodohan itu begitu kentara. Jika masalahnya adalah penentuan awal bulan, maka semestinya tiap bulan kita ribut soal itu. Jika soalnya adalah penentuan awal tahun baru hijriyah, maka semestinya kita ribut setiap 1 Muharram. Nyatanya kita hanya ribut saat awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Seolah di sanalah inti kalender hijriyah. Dari kenyataan ini sebenarnya makin jelas inti masalahnya. Ia tak sekadar masalah kalender, tapi ada hal lain. किता sebut saja soal sah-tidaknya ibadah puasa dan ibadah haji.

Jadi, masalahnya adalah bukan pada kemampuan ilmu pengetahuan dalam membantu kehidupan dan peribadatan umat Islam, tapi pada paham dan kelompok keagamaan. Jika ini masalahnya, tentu kita sangat sedih. Kita memang telah terperangkap ke dalam mental jahiliyah. Padahal kedatangan ajaran Islam adalah untuk memberikan pencerahan umat manusia agar selamat dalam menjalankan tugas kekhalifahan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Karena itu di awal kedatangan Islam dan di masa kekhalifahan, umat Islam memimpin peradaban dunia berkat keluhuran ajarannya dan kemajuan ipteknya. Jika sekarang kita terperosok ke dalam mental jahiliyah, maka kita harus segera beristighfar dan bertaubat. Lalu bangkit untuk kembali ke inti pesan Islam.

Sebagai bangsa dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia dan sebagai elemen umat Islam yang paling demokratis di dunia, sudah saatnya umat Islam Indonesia memberikan contoh dan kepemimpinan dalam menyelesaikan masalah kalender hijriyah ini. Kita harus malu pada kebodohan dan kejahiliyahan kita yang tak kunjung kita tinggalkan ini. Marilah mulai tahun ini, umat Islam menemukan cara yang disepakati bersama agar pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang kita bisa memulai dan mengakhiri puasa secara bersama-sama. Itu akan membuktikan bahwa umat Islam bisa bangkit dan maju.

Hal itu dimulai dengan menanggalkan ego masing-masing dan kehendak yang kuat untuk syiar Islam, bukan stiar diri atau kelompoknya. Para ulama fikih, akademisi, peneliti, tokoh-tokoh umat, dan pemerintah bisa duduk bersama untuk membangun komitmen untuk tak lagi jalan sendiri-sendiri. Juga untuk merumuskan metode yang disepakati bersama yang sesuai dengan ajaran agama dan ilmu pengetahuan.

Mari kita berinstrospeksi bahwa umat Islam adalah umat yang paling tertinggal dibandingkan dengan umat-umat agama lain seperti Kristen, Yahudi, Buddha, bahkan kini Hindu. Tentu itu bukan karena ajaran Islamnya, tapi karena orang-orangnya. Masalah penyatuan kalender adalah hal yang paling sepele dibandingkan dengan pencapaian keunggulan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peradaban. Namun, jika hal sepele itu bisa diselesaikan maka hal itu bisa menjadi pertanda bangkitnya kembali kepemimpinan umat Islam dalam membawa kabar gembira pada umat manusia".