Wednesday, July 30, 2008

Silahkan berkunjung Ke

Monday, July 14, 2008

Ideologi Kiri vs Ideologi Kanan

Suatu Konsep Ideologi sebenarnya selalu mengandung dua konsep dasar tentang “perubahan” (change) dan “nilai-nilai” (values). Disebut demikian karena ideology secara sederhana dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai yang mengubah masyarakat, baik mengubah kea rah yang lebih progresif atau membawanya kepada kemunduran (retrogesif).

Istilah kiri dan kanan berasal dari tradisi politik Perancis, kelompok yang secara umum mendukung kebijakan-kebijakan penguasa/raja adalah kelompok kanan. Sedang yang menawarkan perubahan dalam system itu disebut kelompok kiri.

Terkait dengan konsep dasar diatas, sifat ideology dapat dibuat dalam kontinuitas kategori redikal, liberal, moderat, konservatif dan reaksioner. Kontinuitas kategori sifat ideology dapat dijelaskan dalam gambar berikut :

Jika spectrum dilihat, misalnya dari kiri ke kanan, kita bisa membuat identifikasi sifat dan sekaligus mengetahuii hubungan khusus diantara sifat-sifat atau jenis ideology itu, misalnya mengapa radikal lebih dekat ke kiri, sementara reaksioner ke kanan.

Dalam termilogi politik, radikal identik dengan kelompok ekstrimis kiri, tetapi bukan ekstrimis kanan. Sementara dalam penggunaan yang lebih popular, istilah radikal seringkali dirujukkan kepada kelompok ekstrimis baik kiri maupun kanan.

Monday, June 16, 2008

Cak-cak kreng tho la'ot


Cak-cak kreng tho la'ot1
- maka azamkan hatimu-
( 1
st version.1st chapter)
Oleh : Bagaskara Manjer Kawuryan
Editor : Tengku Muda
Sekarwangi-Sukabumi. 16 Jumadil Uula 1429 H


Agam Bakoey pun mengangkat seluruh air laut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk memungut tak terhitung ikan dari berbagai macam jenis. Memandang matanya ke tepian pantai yang dipenuhi belasan perahu berukuran sedang milik nelayan Lancang Barat, Gampongnya2. Tak ada seorang pun disana.

Perahu-perahu tak tertambat, dibiarkan begitu saja. Seolah tak ingin terjilat air laut perahu-perahu itu di tempatkan menjauhi bibir pantai. Dengan cekatan Agam Bakoey3 memasukan seperlunya ikan-ikan ke dalam jaring hasil rajutannya.

Untuk kali kedua Agam Bakoey melayangkan pandangan ke bibir pantai Lancang Barat4. Dilihatnya Tengku Dayah yang tergesa menuju Meunasah5 Dusun Ujong Krueng6. Matanya berbinar mengkilatkan cahaya gembira. “Tengku…Tengku…!!!”, Agam Bakoey berteriak sejadinya. Tengku Dayah7 di bibir pantai sana merasa terpanggil segera mencari si pemilik suara, namun usahanya sia-sia, beliau tak melihat siapapun disekitarnya.

Merasa teriakannya kurang keras Agam Bakoey kembali memanggil “Tengku…Tengku…cie neu eu u laott,,,lon hinoe!!!” (Teungku…Teungku…Lihatlah ke laut,,,saya disini!!!). Petunjuk dari panggilan kedua membuat Tengku Dayah segera mengarahkan perhatiannya ke laut. “Masya Allah….Bakoey….pu na die lee…peu yang ka peugeut ?” (Masya Allah….Bakoey….ada apa lagi ini…apa yang kamu lakukan?), tanya spontan Tengku Dayah. “Tengku, neuhoe bandum ureung beubagah…jak cok ungkoet…lon hana trep peutheun ie laot.…” (Teungku, segera panggil semua orang Gampong untuk mengambil ikan-ikan ini…saya tak akan lama menahan air laut…), Agam Bakoey memohon.

Melihat keseriusan Agam Bakoey dengan keringat membahasi hampir seluruh pakaiannya, tanpa pikir lama Tengku Dayah segera berlari menuju jalan utama Gampong dengan ribuan rasa campur aduk.

Tengku Dayah tak segera menuju Meunasah utama Gampong di dusun Cot U Sibak8 yang sekaligus juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah Geuchik9, Tuhapeut10 dan Tuhalapan.11

Tengku Dayah mengambil arah Barat saat sampai di simpang pertama jalan utama. Tujuannya adalah rumah Yusuf Nazar Ben, Panglima Laot12. Rumah Panglima Laot Gampong Lancang Barat memang lebih besar dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Yusuf Nazar Ben bukan saja dituakan oleh nelayan Lancang Barat tetapi juga dituakan oleh nelayan Gampong Bluka Teubai, Tanah Anoe13 dan Kuala Keureuto Timu. Pengaruh jabatannya sebagai Panglima laot sangat luas. Keputusannya untuk menetapkan kapan melaut dan ikan apa saja yang boleh diambil dimusim tertentu akan dipatuhi. Pengalaman melautnya jauh sampai ke negeri orang putih. Kepandaiannya membaca arah angin dan perubahan musim laut sudah tidak diragukan lagi.

“Assalamu’alaikum…” Tengku Dayah mengucapkan salam dengan mengangkat telapak tangan kanannya sampai menyentuh pelipis. “ Wa alaikumussalam…pue na Tengku?, tengku pakon meukaraat-karaat. Neu duek dilee, neu jeib ie ue meu dua neuk” (Wa alaikumussalam…ada apa Teungku?, tampaknya Teungku sangat tergesa-gesa. Duduklah dulu, minumlah barang seteguk air kelapa ini) , Yusuf Nazar Ben menawarkan.

“Teurimong geunaseh Panglima. Neu eu u laot. Oe leuh krueng, Agam bakoe dipeuget meunan cit laot…Bakoey dipeuthoe ie laot mangat jeut pieleh ungkoet.” (Terima kasih Panglima. Lihatlah ke laut. Setelah Sungai, Agam Bakoey kembali melakukan hal yang sama terhadap laut. Bakoey mengangkat air laut untuk mendapatkan ikan), segera Tengku Dayah memberitakan.

Tercengang Yusuf Nazar Ben mendengarnya. Rasa penasaran menggerakannya menghambur berlari kecil menuju tepi pantai meninggalkan Tengku Dayah jauh di belakang. Di lihatnya air laut tidak lagi menggenangi daratan. Air laut mengangkasa beberapa jengkal di atas kepala orang dewasa. Jauh di arah Timur terlihat Agam Bakoey mulai lemah mengangkat air laut.

“Tengku, peu yang dimita Agam Bakoey?” (Teungku, Apa yang di inginkan Agam Bakoey?), tanpa menoleh Panglima Laut bertanya.

Tengku Dayah bersiap menjawab pertanyaan itu. Sebelum niatnya terlaksana, Panglima laut sudah mendahuluinya. “lageenyoe mantong, tanyoe bagi tugas, bahkeuh lon yang biethe keu ureung gampoeng. Leubeh ghet Tengku bhite bak Geuchik, bahkeuh gobnyan yang brie peunuetoh” (baiklah, kita bagi tugas. Biarlah saya yang akan memberitakan kepada warga. Lebih baik jika Teungku segera memberitakan ini semua kepada Geuchik. Biarlah beliau yang nantinya akan mengambil keputusan), Panglima Laot berinisiatif.

“kajeutlah …”(baiklah…), Tengku Dayah tanpa meninggalkan tanya segera bergegas menuju rumah Teuku Amri, Geuchik Lancang Barat. Dengan melewati rimbunan Bungong Seuke14 di belakang rumah Panglima Laot kemudian melintasi jalan tambak milik Salidan Tengku Prang diyakini oleh Tengku Dayah akan lebih cepat sampai tujuan.

Begitulah hari itu Lancang Barat dikejutkan untuk kedua kalinya oleh perbuatan Agam Bakoey. Ba’da isya Meunasah utama dipenuhi oleh tokoh masyarakat untuk bermusyawarah, menentukan putusan untuk Agam Bakoey.

Duduk tegak tepat di bawah mimbar Khotib, Teuku Amri. Telah hadir Tuhapeut, duduk membentuk shaff sejajar Geuchik di sebelah kanan. Abdullah Nafi anggota Tuhapeut dari Dusun Cot U Sibak, Munsir Pia dari Dusun Ujong Krueng, Thoib Pardan dari Dusun Blang Baroh15, dan yang terakhir dari Dusun Keude Mane terwakili oleh Zanibar.

Dari unsur Tuhalapan hanya lima tetua yang dapat hadir dari seyogyanya delapan, tetua yang lainnya berhalangan hadir sebab menghadiri undangan nujoh tokoh Tuhalapan di Gampong tetangga. Meskipun demikian keputusan telah diambil, quorum sudah Tuhalapan dan memastikan diri telah mewakili tiga tetua yang berhalangan hadir. Adalah Hasyim Puteh bertindak sebagai juru bicara Tuhalapan.

Dari kalangan inong16 diwakili oleh Tihajar, Cut Aisyah, Zainabon, Cut Hendon, Ainon Marliah dan Nurol Aflah. Para Inong duduk jauh di depan Geuchik, berjajar di samping pintu masuk Meunasah yang sekaligus juga pembatas antar ruang utama Meunasah dan teras. Hadir juga Panglima Laot yang duduk berjajar dengan Geujron17, Tengku Dayah, Imam Meunasah18 dan Imum Mukim.19

Etika majelis mewajibkan Geuchik membuka musyawarah terbuka. Setelah mengucapkan salam, memanjatkan do’a dan shalawat, Teuku Amri menjelaskan maksud dan tujuan musyawarah malam itu.

Geuchik selanjutnya mempersilahkan Tengku Dayah untuk menceritakan kejadian siang tadi. Dibantu oleh Panglima Laot cerita Tengku Dayahpun semakin jelas disimak.

“Ta lakee bak ureung tuha dan syedara lon seiman dan seIslam untuk peutroh peundapat yang jroh” (Silahkan kepada tetua dan saudaraku seiman dan se Islam untuk menyampaikan pandangannya), Teuku Amri menutup penjelasan Tengku Dayah dan Panglima Laot.

Terlihat Abdullah Nafi merubah sikap duduk pertanda memohon waktu menyampaikan pendapat, namun tak segera itu pula berbicara. Ranup20 yang semenjak tadi diraciknya dipadatkan sekali lagi sebelum kemudian dikunyahnya. Empat kali kunyahan ranup, Abdullah Nafi angkat bicara “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh…syedara lon banbandum, bacut peundapat lon tuan tentang peu yang ka dipeugat le si Agam Bakoey, sang hana soe bantah bahwa nyan bermanfaat bagi ureung gampong geutanyoe, geutanyoe meuphom sa’at jino susah that meurumpok ungkoet di laoet, sebab jinoe tengoh meugantoe musem, ungkoet yang di cot beuno cot uroe cukop keu bekai sigoe jum’at bagi ureung gampoeng. Tapi cara yang geupeugeut lee Agam Bakoey memang hana pah bak tae u. Jinoe ta meupakat dilee dengan jroh peu hokum yang akan tabie.” (Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh…Lon tuan semua, ijinkan saya menyampaikan pendapat…apa yang dilakukan oleh Agam Bakoey, tampaknya tidak akan ada yang menyangkal bermanfaat bagi masyarakat kita. Kita memahami saat ini sangat sulit untuk mendapatkan tangkapan dari laut sebab terjad perubahan musim. Ikan yang diambil siang tadi dari laut cukup memberikan persediaan untuk sepekan warga. Tetapi cara yang digunakan oleh Agam Bakoey memang meresahkan. Marilah kita musyawarahkan dengan baik sangsinya. Marilah juga kita pertimbangkan manfaatnya). Ranup kembali dikunyah.

“Lon tuan ka seupakat. Dengon hana tapeutuwoe manfa’at peu ya ka dipeugeut si Agam Bakoey, lon pikee peureulee geutonyoe tabie hukoman untuk jieh. Masaalahnyoe menyangkoet keimanan ureung gampong geutanyoe. Peu yang dipeuget Agam Bakoey jeut keusaboh I’tikeud ureung gampong ke hai yang leubeh rayeuk nibak kekuasaan Allah subhana wa ta’ala. Nyoe bisa reuloeh aqidah ureung gampong geutanyoe. Menyoe nyoe kejadian jih, lon troem ngon gagi bak roeng si Bakoey” (Saya sepakat. Tanpa mengenyampingkan manfaat perbuatan Bakoey, saya fikir perlu kiranya kita memberikan sangsi untuknya. Perihal ini menyangkut keimanan warga kita. Perbuatan Bakoey akan membuat warga mempercayai kekuatan-kekuatan lain di luar kekuasan Allah Subhana wa taala. Ini akan menyurutkan aqidah warga. Jika itu yang terjadi maka saya tidak akan segan untuk memberikan tanda kaki di punggung Bakoey21) , Hasyim Puteh menyampaikan pendapatnya dengan berapi.

Imam Mukim dan Imam Meunasah menganguk kecil mempertimbangkan pendapat Tuhalapan. “Hmmm…Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.. peu yang ka geupeugah lee tuha peut dan tuha lapan ka tadeungo ban bandum”( Hmmm…Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh..apa yang disampaikan Tuhapeut dan Tuhalapan kita telah dengar semua), Bisri Abas selaku Imam Mukim mengawali. “sie golomnyan na keuh leubeh get geutanyoe dilee haba dari Agam Bakoey, pat gata hai Agam..cie langkah keunoe laju.” (Namun alangkah baiknya jika kita dengarkan langsung penjelasan dari Agam Bakoey, silahkan masuk hai Agam), Imam Mukim mempersilahkan Agam Bakoey yang baru saja datang.

Bakoey memang telah mempersiapkan diri memberikan penjelasan. Namun tetap saja tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sama halnya dengan majelis saat mengetahui kehadiran Bakoey.

“Assalamu’alaikum”, Bakoey mengucapkan salam. “Wa alaikumussalam wa rahmatullahi”, serempak majelis menjawab.

”kajeu adoe…neuduk laju… kamoe keuneuk dengoe haba peu yang ka adoe peuget beunoe cot uroe. Siegolomnyn lon tuan ateuh nan meuwakili ureung gampong geutanyoe, meupeusampoe teurimong geunaseh, seubab peu yang ka adoe peubut kajeut na keuneubah ungkoet untuk sigoe Jumeu’at nyoe. Tapi sigolomnyan peukeuh gata adoe hana gata piekee hasee jih. Khusus jih meunyangkoet agqidah. Maksud kamoe, tatakoet jeut keu syirik nibak hai yang leubeh hayeuu dari Allah kareuna kekuatan yang gata pakee” (Silahkan Nyak…duduklah…kami ingin mendengarkan penjelasan atas apa yang telah Nyak lakukan siang tadi. Namun sebelumnya ijinkan kanda mewakili majelis dan warga mengucapkan terima kasih, sebab apa yang Nyak lakukan telah menjadikan warga memiliki persediaan pangan ikan untuk sepekan. Namun apakah Nyak tidak memikirkan dampaknya, khususnya berkaitan dengan aqidah. Maksud kami, kekhawatiran terjadinya musyrik kepada kekuatan selain kekuatan Allah akibat kekuatan yang Nyak gunakan), Teuku Amri memulai pembicaraan.

Tanpa menunggu lama. Dimulai dengan melafalkan Bismillahirrahmanirrahiim dengan syiir (Arab:halus). Agam Bakoey memulai penuturannya. “Takzim lon tuan bak urueng syiek ban bandum, nakeuh peu yang lon peugeut, hana maksud dan tujuan sapeu-sapeu”. (Lon tuan, dengan hormat sedalam-dalamnya. Sungguh perbuatan saya tidak bermaksud dan bertujuan apa-apa). Majelis mendengarkan dengan khidmat kata demi kata yang disampaikan Agam Bakoey.

“Lon tuan nakeuh dari biek yang biasa-biasa mantong, Lon hana ileume, Meuphom lon awak droneh menyoe kamoe biek yang bangai nyoe sabee hana diboeh yum le biek-biek laen. Ulon tuan, sadar dengan hainyoe. Lagee hana pantah sidroe aneuk dara galak keu lon, karena hana yang lubeh bak lon” (Lon tuan, saya dan keluarga saya bukanlah kalangan terpandang. Saya tidak punya pendidikan yang layak. Mahfum kiranya jika keluarga saya yang lugu dan sahaja akan selalu dipandang rendah oleh keluarga lainnya. Ulon tuan, saya sadar dengan kondisi. seperti itu tak layak bagi seorang gadis tertarik menjadi pendamping saya, tak ada yang patut saya banggakan). Terengah nafas Agam Bakoey menahan sesak di dada, terlintas wajah umi dan ayahnya, yang untuknya adalah figur ushwah dalam hidup. Bakoey menganggap dirinya belum mampu memberikan yang terbaik dan mampu dibanggakan oleh keduanya.

“Hana mungken lon na kekuatan pienah ie laoet lagenyan bagoe meunyoe kon na izin Allah. Lon peugah lom sigoe teuk, hana mungken jeut lon peugeut lagennyan menyoe hana ridha Allah. Bahkan lon hana kuasa lon tarek meusiekrek nafah menyoe hana izin Allah. Kuasanya nyan neukeuh poe Allah, kon kuasa lon” (Tak mungkin saya memiliki kekuatan untuk mengangkat air laut sedemikian rupa tanpa ijin dari Allah. Saya tegaskan, tidak mungkin saya dapat melakukan itu semua tanpa ridhlo Allah. Bahkan saya tidak akan mampu menarik sehembus nafas sekalipun jika Allah tidak mengijinkan. Kekuatan itu milik Allah, bukan saya yang memiliki), lantang penjelasan Bakoey kali ini.

“Saya meyakini benar, dengan lisan, dengan hati dan perbuatan, bahwa Allah akan melapangkan segala jalan bagi makhlukNya. Saya meyakini benar Allah akan

mempermudah segala urusan makhlukNya. Saya mengangkat air sungai dan laut hanya untuk mempermudah warga kita mendapatkan kebutuhan lauk pauknya. Bukankah hasil melaut kita saat ini kurang baik?, bukankah hasil panen ladang kita juga belum memenuhi lumbung?. Terketuk hati melihat penderitaan yang diderita, saya memohon kepada Allah untuk memberikan kekuatan agar mampu menyibak air sungai dan laut. Saya men-azamkan diri atas kekuasaan tak terhingga yang hanya dimiliki oleh Allah. Dialah sang Maha, tidak ada selain itu. Saya serahkan seluruh hidup dan kehidupan kepadaNya. Saya ikhlaskan kepadaNya segala jiwa dan nyawa. Saya tunduk atas titahNya. Ulon tuan silahkan memutuskan sangsi yang setimpal bagi saya. Namun itu semua tidak akan pernah menghapus apa yang telah saya azamkan, azam terhadap tanpa batas kekuasaan Allah. Subhanallah”. Terkulai lemas dan tak bertenaga Agam bakoey dipenjelasan terakhirnya.

“kajeutlah, kaleuh ta deungoe haba bak Agam Bakoey, syedara-syedara ban bandum jinoe mariekeuh geutanyoe tacok saboh peuneutoh yang jroh”(Baiklah…demikian penjelasan Agam Bakoey. Ulon Tuan sekalian. Marilah kita putuskan seksama), ajak Teuku Amri.

“Adoe lon Bakoey, nakeuh niet dan azam adoe yang na dalam hate nakeuh hai yang paleng meu peuhamba droe nibak Allah yang paleng jroh. Lon pih hana teunte jeut lon pubuet lagenyan. berbahagialah adinda.Allah ka geupeuteutap hate adoe. Allah tetap geubuka dan peulapang jalan adoe. InsyaAllah. Peujalan laju peu yang kajuet ke azam dalam hate dan jiwa adoe. Bek rhoet seumangat. Allah cukp that galak nibak ureung yang peuseurah droe.(Dinda Bakoey, sungguh niat dan azam Nyak yang telah lebur dalam hati ialah bentuk pen-hambaan kepada Allah yang luar biasa. Saya pun belum tentu dapat melakukan itu. berbahagialah Nyak. Allah akan menetapkan hati Nyak. Allah akan tetap membuka dan melapangkan jalan Nyak. Insya Allah. Teruskan apa yang telah menjadi azam dalam hati dan jiwa Nyak. Jangan melemah. Allah menyukai hambaNya yang berserah).Imam Munasah yang sedari tadi diam membuka kata dengan sahaja.

Teuku Amri dengan tanda khusus meminta Tuhapeut, Tuhalapan, Imam Mukim, Imam Meunasah, Tengku Dayah, Panglima Laot dan para Inong membentuk lingkaran kecil untuk mengambil keputusan. Tak berapa lama. Mufakat telah dicapai. Bulat sudah para tetua mengambil sikap.

Dua kunyahan ranup. Para tetua Gampong Lancang Barat kembali ke tempat duduk semula. Kini Agam Bakoey berada di tengah-tengah majelis. Wajahnya mengahadap Geuchik dengan sikap tegar berhias senyum sejuk.

“Hai adoe peukeuh gata teurimong mandum peuneutohnyoe?”(Adinda,siapkah Nyak menerima segala putusan?), tanya Teuku Amri.

“Bi idznillah, Bismillahirrahmanirrahiim, Insya Allah….”, tegas Bakoey.

Teuku Amri tersenyum bangga. “Hai adoe, kaleuh kamoe seumiekee yang jroh, kamoe cok saboh peuneutoh yang muslihat bagi geutanyoe ban-bandum.”( Adinda, kami telah pertimbangkan sebaik-baiknya. Kami telah telah putuskan dan tetapkan untuk kemaslahatan kita semua), sampai dengan kalimat ini Teuku Amri menghentikan sejenak pernyataannya. Matanya menyapu semua yang hadir. Memohon ijin untuk mewakili dan melanjutkan putusan. Tidak ada yang berniat menghentikan pernyataan Teuku Amri tampaknya.

“Adinda, Bismillahirrahmanirrahiim, kamoe lakee adoe beujie’oh dari gampong. Peuneutohnyoe nakeuh untuk tajaga aqidah ureung gampong geutanyoe. Sampoe kamoe anggap aqidah ureung gampong hana lee teuganggu dengon peu yang ka adoe peugeut. Sigra kamoe meuhoi adoe waoe lom u gampong. Lageenyan peuneutoh kamoe.”( Dinda, Bismillahirrahmanirrahiim, kami putuskan untuk mengasingkan Dinda jauh dari Gampong. Ini kami putuskan demi menjaga aqidah warga. Sampai dengan kami menganggap aqidah warga tidak terganggu dengan perbuatan Dinda, segera kami persilahkan Dinda kembali. Demikian putusan kami. Begitu Lon Tuan?). Teuku Amri memohon kesepakatan.

“nyow pakat that”( Iya…setuju), majelis menegaskan.

-0-

“Minumlah dulu air kelapanya nak. Sudah seharian ini ayah belum melihatmu minum. Di dalam sana umi sudah menyiapkan gulai tongkol”. Pak Lah yang telah saya anggap sebagai ayah sendiri memecah kesima kisah Agam Bakoey. Hari itu memang cukup melelahkan. Terik matahari pantai Blang Nibong seakan membakar jauh pori-pori kulit.

Beberapa teguk saya minum air kelapa muda yang disediakan ayah. Terasa segar. Angin laut menepis kesadaran akibat pesona kisah. Saya tetap duduk termangu di depan ayah.

“Azamkan hatimu nak. Raih apa yang kau citakan. Jangan menyerah jika engkau telah tetapkan niat. Jangan kembalikan langkahmu pulang. Kamu masih muda. Dan Allah menyukai orang muda yang menetapkan hati dan niat di jalanNya. Berbanggalah menjadi pohon kelapa yang menjulang sehingga daunnya diterpa angin serta badai, menjulang menyebabkan kamu punya banyak pandangan. Khasanah ilmu dan pengetahuanmu akan bertambah. Jika kamu tidak menginginkan diterpa badai, jadilah rumput. Akan terinjak dan sulit mendapatkan matahari”, ayah menutup kisahnya. Tangannya yang tegap mengajak saya masuk kedalam rumah.

Subhanallah…..

1 Cak-cak kreng tho’ laot (Aceh), arti maknawinya mengeringkan laut
2 Gampong (Aceh); Kampung atau Desa. Saat ini setingkat dengan wilayah administrasi Kelurahan.
3 Agam, Gam (Aceh); panggilan untuk pemuda atau anak laki-laki yang beranjak dewasa.
4 Lancang Barat (Aceh); nama Desa di Aceh Utara. Secara harfiah berarti menghadap ke arah Barat. Konon nama ini berkaitan dengan sejarah perjuangan masyarakat Aceh dalah hal ini masyarakat Lancang Barat mengusir Pasukan Belanda yang memasuki wilayah Aceh dari Arah Barat.
5 Meunasah (Aceh); Mushola. Walaupun demikian dari segi ukuran Meunasah memiliki luasan lebih jika dibandingkan dengan masjid di Pulau Jawa.
6 Ujong Krueng (Aceh); arti harfiahnya ujung sungai.
7 Teungku Imum (Aceh); gelar tokoh masyarakat Aceh yang disebabkan seseorang memiliki kemampuan lebih memakmurkan mushola atau masjid.
8 Cot U Sibak (Aceh); arti istilahnya bukit yang membelah aliran air.
9 Geuchik (Aceh); Kepala Kampung, Desa atau Kelurahan. Sampai saat ini istilah Geuchik masih digunakan masyarakat Aceh.
10Tuhapeut (Aceh); arti harfiahnya empat tetua Kampung. Istilah ini meunjuk kepada lembaga dan atau mekanisme pengambilan keputusan masyarakat yang masuk dalam jajaran perangkat Desa/Kelurahan. Tuhapeut dalam pemerintahan Desa atau Kelurahan di Jawa sepadan dengan Lembaga Masyarakat Desa (LMD). Istilah ini masih digunakan masyarakat Aceh.
11Tuhalapan (Aceh); arti harfiahnya delapan tetua Kampung. Sama halnya dengan Tuhapeut, keberadaan Tuhalapan sangat penting dalam mekanisme pengambilan keputusan masyarakat. Di Jawa istilah ini sepadan dengan LKMD. Istilah ini masih digunakan masyarakat Aceh.
12Panglima Laot (Aceh); arti harfiahnya panglima laut. Menunjuk pada seseorang yang oleh karenanya memiliki kemampuan mengorganisasikan nelayan. Istilah ini masih digunakan masyarakat Aceh.
13Bluka Teubai (Aceh); arti harfiahnya belukar tebal. Nama sebuah Desa di wilayah administrasi Aceh Utara. Tanah Anoe (Aceh); arti harfiahnya tanah pasir.

14Bungong Seuke (Aceh); arti harfiahnya bunga atau pohon pandan. Jenis pepohonan ini masih mudah ditemui disepanjang pesisir pantai utara Aceh.
15 Blang Baroh (Aceh); arti harfiahnya sawah di sebelah Barat.
16 Inong (Aceh); arti harfiahnya perempuan
17Geujron (Aceh); Jabatan dalam pranata sosial bagi seseorang yang dengan kemampuannya memiliki keahlian untuk melakukan pengelolaan air sawah (irigasi), menentukan kapan musim tanam dan apa yang cocok ditanam. Dibeberapa wilayah di Aceh jabatan ini masih ada.
18Imam Meunasah (Aceh); sama halnya dengan Teungku Imum. Perbedaannya ialah Imam Meunasah mengelola masjid utama.
19Imam Mukim (Aceh); Gelar dan jabatan dalam pranata sosial di Aceh yang ditujukan kepada seseorang yang memiliki pengaruh untuk memberikan pertimbangan kepada mayarakat di wilayah administrasi Kecamatan.
20 Ranup (Aceh); Sirih. Dalam tradisi masyarakat Aceh, mengunyah sirih juga dilakukan oleh pria.
21 “Memberikan tanda kaki di punggung”; istilah dalam komunikasi verbal masyarakat Aceh yang memiliki arti tindakan menendang sangat keras sehingga meninggalkan bekas di punggung seseorang


Catatan penting :

Essei ini gubahan dari cerita rakyat Meulaboh “Agam Bakoey”. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kepada seluruh masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, saya memohon untuk segera melayangkan kritik dan saran apabila saudaraku menemukan ‘kejanggalan”. Kesamaan nama tokoh dan lokasi memang tidak dapat dihindari dalam penulisan essei ini. Namun demikian nama tokoh dan lokasi dalam essei ini tidak mewakili kondisi sebenarnya. Bebarapa bagian essei ini diadopsi berdasarkan jurnal dan rekaman perjalanan saya selama berada di Aceh, termasuk percakapan saya dengan Ayah Lah.

Eseei ini wujud terima kasih saya kepada masyarakat Aceh yang telah banyak memberikan pelajaran berharga untuk hidup dan kehidupan saya. Untuk Ayah Abdullah Nafi sekeluarga (terima kasih ayah, anakmu ini akan tetap menyematkanmu dalam hati). Essei ini merupakan ucapan terima kasih kepada: Teungku Muda dan keluarga (sahabat yang tak lelah mengingatkan saya untuk tetap memuliakan hidup, Semoga Allah SWT menyandingkan berkah untukmu dan keluargamu),Amrizal, teman-teman Re-Kompak NAD dan Nias di Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe, Tapak Tuan, Aceh Utara dan Bireun seperti; Ikhsan “my boss” Anoem, Orizon Fernando Situmorang (live must be stand up bro!!!), Yulianto, Hendri, Anton Wibisono (Absolutly Architect), Aditia, Joe, Iis “roi” Widiati..keep away your feet from concrete, Mr. Peter Feith, Mrs.Geumala Yatim, Mr. Alan –Oxfam- Gregor (Jogja is always be there dude…),Mr. Dave –the mirror man- prhachoyang, Thoib “si mbah” Soebhianto.

Rakanda Geuchik Gampong Bangka Jaya, Rakanda Geuchik Gampong Bluka Teubai, Teungku Dayah Gampong Bangka Jaya yang telah mengajarkan saya mengaji dan mempelajari “Hikayat Perang Sabil”, Bang Saiful dan adik kecil saya; Nailul Azmi (semoga Nailul menjadi Insinyur seperti saya bang ), Bang Hamdan yang telah memberikan kesempatan saya belajar dan menikmati ranup, Bang Salidan yang telah mengajak saya melayang bersama “bungong bakung” di tepi pantai Bireun (its amazing rasta), Bang Putra “penguasa simpang peut Panglateh”, Teungku Bob; Panglima Sagoe Bujang Salim dan rekan. Seseorang yang tidak bisa saya sebutkan namanya, dengannya saya diberikan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam Gerakan Aceh Merdeka dan berkesempatan menjabat erat tangan “sang mentro” Malik Mahmud .

Kepada Nanggroe Aceh Darussalam, i love you all, it is my 2nd home land…it is a real Nanggroe….i’ll be back again..Insya 4UI…Terakhir untuk Cut Kiki Beuransyah pemilik mata biru-coklat yang tidak bisa saya hindari untuk tidak menikmati kecantikan luar biasanya. Andai saja saat itu hati tak terpagut .

bôh manôk nyan mirah, sie nyang meugapah, inoeng nyang ceudah beurangkasoë pih hawa; telor ayam mirah, lemak daging, perempuan yang cantik pasti semua mau.

Saturday, June 07, 2008

Renungan Suami Istri



lelaki mengbanggakan setiap kesuksesan dan prestasi yang dicapainya,

sementara wanita, lebih mendambakan sentuhan dan kehangatan cinta dari pasangannya.

lelaki merasa merasa termotifasi, jika senantiasa merasa dibutuhkan oleh pasangannya.

sementara wanita akan termotivasi jika mereka dihargai .

selalu ada perbedaan yang acapkali mendatangkan kesalahpahaman.

untukmu para suami

sadarilah..................

saat kecemburuan menyergap hati istrimu, bersabarlah untuk memahami setiap keinginannya dan lebih mendekatlah padanya.

untuk para istri

lelaki bisa memahami apa saja kecuali satu hal

terkadang dia membutuhkan ruang perenungan sendiri dimana engkau tidak diizinkan memasuki rauang itu.

mungkin engkau berfikir.......................

suamimu sungguh egois.

ketahuilah

adakalanya suamimu akan berlaku egois

untuk mengukuhkan jati dirinya

dan sesuatu yang sulit dipahami adalah hati wanita.


Ditulis oleh Salah Seorang Suami Yang Baik

Thursday, May 22, 2008

Kebangkitan nasional di tengah pesimisme massal

Kebangkitan nasional di tengah pesimisme massal1
Oleh : Imron Rosidin2

100 tahun sudah bangsa ini berdiri tegak dengan semangat kebangkitannya. Kita semua sepakat untuk tidak menjadikan momentum kebangkitan ini menjadi ritual massal berskala nasional. Kita semua menyadari bahwa setiap kita memiliki konsekuensi tanggungjawab sebagai bagian dari apa yang disebut nasionalisme, sebab kita adalah individu-individu dengan identitas kebangsaan Indonesia. Nasionalisme menjadikan kita tidak hanya memiliki identitas kebangsaan, nasionalisme menjadikan kita sebagai pribadi yang mau tidak mau bertanggungjawab pula terhadap keberlangsungan dan kelestarian nasionalisme. Apapun konsepsi dasar, pemahaman dari interpretasi tekstual dan konseptualnya, keyakinan dari implementasinya, nasionalisme nyatanya menunjuk diri kita sebagai “yang ber-identitas Indonesia”.

Sebagai “yang ber-identitas Indonesia” maka recana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian disikapi dengan dilema Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus bagi masyarakat merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa disikapi dengan kebijakan-kebijakan lokal. Tidak kurang Menteri koordinator kesejahteraan rakyat menyebut secara implisit, bahwa permasalahan rencana kenaikan harga BBM termasuk penyikapannnya melalui BLT termasuk pada klasifikasi permasalahan kluster keamanan sosial (Pikiran Rakyat 15 Mei 2008). Kita boleh saja bertanya, kenapa permasalahan ini memiliki korelasi dengan kondisi keamanan?, lalu siapa yang mengamankan apa dan atau siapa?, kehidupan sosial milik siapa yang dimaksud?, jaminan keamanan yang berlaku untuk siapa dan sampai kapan itu berlaku?.

Jika momentum kebangkitan nasional tahun ini diwarnai dengan hiruk pikuk rencana kenaikan harga BBM maka sejatinyalah nasionalisme tidak akan pernah luntur oleh karenanya. Nasionalisme ibarat sampan berpenumpang massal di tengah-tengah lautan luas, diterjang ribuan gelombang realitas selama seratus tahun, pernah mengalami rengkah akibat krisis moneter dan keraguan kolektif dalam perjalan menuju reformasi.

Namun lihatlah, nasionalisme apapun bentuknya saat ini tetap bersahaja di tengah –tengah lautan tak bernama. Nasionalisme menjadikan kita sebagai masyarakat warga yang yakin tengah mengayuhkan dayung ke arah yang tepat menuju kesejahteraan bersama, meskipun dengan metodologi yang berbeda. Kita masyarakat warga terbukti telah bersama mengarungi lautan problematika bersama bangsa. Kita teruji oleh waktu.
Dalam dimensi yang sedikit berbeda, Justifikasi terhadap pentingnya menaikan harga BBM tentu saja tidak semerta lahir dari analisis instan kondisi perekonomian global saat ini. Dalam skala nasional juga telah disadari, analisis dampak kenaikan harga BBM 30 persen secara umum akan menaikkan tambahan inflasi 1,8-2,5 persen yang berarti akan terjadi penurunan daya beli masyarakat secara luas dan signifikan. Dalam kondisi ini, upaya yang bisa dilakukan adalah memberikan transfer untuk mengembalikan daya beli, dengan uang, subsidi raskin, minyak goreng, dan kedelai. Jadi, ini bukanlah sebuah konsep yang baru. BLT dalam hal ini juga tidak bisa dinyatakan sebagai solusi instan tapi satu hal yang terencana.
Reaksi keras dari masyarakat, tokoh masyarakat, pemimpin lokal masyarakat, kalangan birokrat dari mulai RT, RW, Lurah, Kepala Desa, Camat sampai dengan Walikota dan Bupati lebih terdengar keras menyuarakan penolakan terhadap penyikapan yang diberlakukan kepada masyarakat berupa BLT daripada kenaikan BBM-nya. Mahasiswa yang justru lebih keras meneriakan penolakan rencana kenaikan BBM daripada rencana penyikapan dalam bentuk BLT plus.
Yang menarik untuk diungkapkan disini ialah, pertama, tumbuh kembangnya kebangkitan nasional memang harus diakui lahir dan bersemi di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memahami –dengan segala keterbatasannya- penolakan rencana kenaikan harga BBM berdasar pengalaman historis akan tetap berujung pada ketetapan negara untuk menaikan harga BBM. Energi kolektif dirasakan terlalu mubadzir digunakan untuk menolak rencana kenaikan harga BBM. Kedua, pengalaman historis membuktikan masyarakat –dengan seluruh usaha maksimalnya- tetap bertahan meskipun berkali-kali harga BBM naik. Bukankah ini kebangkitan nasional sesungguhnya?.

Ketiga, kebangkitan nasional mensyaratkan terjadinya perubahan sikap menuju ke arah berkehidupan yang lebih baik. Inilah yang tengah diajarkan masyarakat kepada negara ini dengan melakukan “dialog” bersama kebijakan penyaluran BLT plus yang secara praktis justru membahayakan keamanan sosial sebenarnya. Di ranah edukatif, BLT plus di proyeksi bukanlah medium yang tepat untuk mendidik cara berkehidupan yang baik bagi masyarakat.
Optimisme menatap masa depan seperti layaknya yang diharapkan dari kebangkitan nasional tampaknya telah terlebih dahulu dimaknai oleh masyarakat Indonesia. Namun tidak sebaliknya oleh negara ini, pesimisme menanggulangi gejolak keamanan sosial menjadikan rencana kenaikan harga BBM tampaknya akan tetap berlanjut. Sementara itu, BLT semakin memperjelas pesimisme negara ini untuk melakukan perubahan sikap massalnya kepada masyarakat warga.
Pesimisme ini sepertinya akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari agenda kebangkitan nasional setiap tahunnya, jika dan hanya jika negara ini tidak bijak belajar dari apa yang masyarakat warga ungkapkan dengan penuh sahaja. Nyatanya memang kebangkitan nasional memang milik masyarakat warga.
Mungkin ada pendekatan dan sistem aplikasi yang berbeda dalam memaknai kebangkitan nasional ini oleh negara, ditandai dengan tetap berencana menaikan harga BBM dan juga tetap dengan skenario BLT nya. Semoga pada tahun yang ke-101 kebangkitan nasional Indonesia semua dapat benar-benar merasakan kebangkitan dan belajar bersama arti kebangkitan untuk semua.

1 Ditulis untuk Harian Umum Pikiran Rakyat. DAS Citarum, 14 Jumadil Uula 1429 H.
2 Pekerja Sosial. Green Peace Indonesia (supporter ID 4586)

Monday, March 24, 2008

Islam Aceh Vs Islam Jawa

Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menimbulkan kontraversi, mencari sensasi atau provokasi Aceh dengan Jawa. Dan tulisan ini juga tidak bermaksud menggores kembali luka ketidak harmonisan sebagian bangsa Aceh dengan bangsa Jawa yang pada saat ini suduh mulai sembuh. Tapi tulisan ini hanyalah sebuah review perkembangan sejarah masuknya Islam di Nusantara yang di mulai dari Perlak dan Pasei(Aceh) hingga berkembang maju di negeri Jawa dan Asia Tenggara .

Kedudukan manusia dan kebudayaan di bumi Aceh senantiasa menyatu antara satu dengan lainnya. Sebelum Islam datang ke Aceh, orang-orang Aceh dengan baiknya tunduk dan patuh kepada ajaran agama Hindu dan Budha yang menjadi kepercayaan mereka. Sebaliknya setelah Islam dating sampai ke hari ini seratus persen bangsa Aceh menerimanya dan mengamalkan dalam kehidupan mereka secara sempurna sehingga susah mau dipisahkan antara Aceh dengan Islam, demikian menyatunya Islam dengan Aceh dan bangsanya.

Penyatuan ini disifatkan oleh para pakar sejarah Aceh sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan di antara keduanya. Karena keadaan yang demikian dekat maka mereka menukilkannya sebagai hokum Islam di satu sisi dan adat Aceh di sisilain, keduanya senantiasa menyatu dan tak boleh dipisahkan sampai kapan pun. Hadih Maja (pepatah Aceh yang mengandung makna hukum) mengisyaratkan suasana ini sebagai Hukôm ngön adat lagèè zat ngön sifeute (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat)

Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam pertama bertapak adalah di Perlak (sekarang Peureulak) Aceh Timur. Dari sinilah Islam dan kebudayaan Islam itu bermula serta menyebar ke seluruh tanah melayu dengan berbagai aktivitas yang dijalankan ummatnya. Masyarakat Aceh pada masa itu dengan mudah sahaja dapat menerima dan menyatu dengan Islam serta budaya yang dibawa Islam itu sendiri. Keadaan ini sangatlah berbeda dengan kondisi dan situasi masyarakat pulau Jawa yang lebih memilih Hindu dan lari ke pulau Bali ketika Islam dibawa Falatehan dari Pasai ke sana. Sampai sekarang keadaan orang jawa masih sangat terikat dengan kebudayaan Hindu dan Jawanya. Inilah yang membuat seorang perwira muda Republik Islam Aceh (RIA) S.S Djuangga Batubara menyayangkan :”Adalah sangat menyedihkan kiranya bagi orang Islam Jawa, ikatan darah Jawa lebih kental daripada ikatan Islam”. Apabila berhadapan antara Islam dengan Jawa, mereka tetap memilih Jawa dan meninggalkan Islam, seperti kasus penerimaan azas tunggal Pancasila sebagai pengganti Islam di masa Orde Baru pimpinan Soeharto. Penolakan B.J. Habibie yang bukan Jawa yang terkenal dekat dengan Islam coba maju untuk menjadi Presiden RI ketiga, maka ramai-ramai orang Jawa mengganjalnya dengan menolak pertanggung jawabannya sebagai presiden pengganti Soeharto. Sebaliknya orang-orang Jawa tersebut berlomba-lomba mempersiapkan Abdurrahman Wahid yang sekuler dan plin plan lagi buta menjadi presiden RI keempat. Selanjutnya ketika berhadapan antara Hamzah Haz dengan Megawati Soekarnoputri dalam rangka merebut kursi wakil presiden, maka semua orang Jawa di MPR termasuk Amin Rais menggalang kekuatan untuk memilih Megawati dan membiarkan Hamzah Haz karena Mega orang Jawa dah Hamzah orang Kalimantan. Dan terakhir Golkarnya Jawa lebih ikhlas memperjuangkan Sosilo Bambang Yudoyono yang Partai Demokrat sebagai Presiden dengan menempatkan Yusuf Kalla sebagai Wapres karena bukan Jawa walaupun GOLKAR. Kondisi seumpama ini masih banyak terjadi dalam persoalan dan tempat yang berbeda.

Kondisi serupa juga dapat dilihat ketika tokoh Idealis Islam Prof dr. Deliar Noer mengajak tokoh veteran Nahdhatul Ulama (NU), K.H.Masyku untuk tetap bertahan dengan azas Islam dan menolak azas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi itu dalam era Orde Baru pimpinan Soeharto. Pada masa itu sang Kiai menjawab : “hanya kamu sahaja yang Nampak idealis di Negara yang serba Pancasila ini”. Lain pula dengan tanggapan A.R Fachruddin yang memimpin Muhammadiyah waktu itu, ketika sang professor mengajaknya untuk bertahan dengan Azas Islam, setelah kehabisan cara dan hujjah untuk menolaknya dengan ucapan yang sangat tulus menjawab : “saya ini kan orang Jawa professor ”, sangat susah untuk menolak ajakan pemimpin Jawa. Para pakar poltik menafsirkan bahwa bagi orang Jawa ungkapan ini bermakna ; apabila berhadapan Islam dengan Jawa maka mereka akan memilih Jawa dan meninggalkan Islam.

Dengan keadaan seperti itu maka tidaklah mengherankan kita kalau ada orang yang berkesimpulan, persoalan kemajuan dan idealism Islam tidak mungkin ada di Jawa dan tidak bias kita harapkan pada orang-orang Jawa. Mereka yang berkesimpulan demikian mangaitkan kesimpulannya itu kepada adat dan budaya hidup orang-orang Jawa baik di Jawa, di luar Jawa maupun luar negeri. Persoalan tidur satu rumah yang tidak punya kamar oleh dua sampai tiga pasang keluarga menjadi perihal biasa kepeda mereka sehingga bias saling melihat dalam setiap aksi dan kegiatan. Mandi satu tempat yang bercampur laki dan perempuan tampa busana yang memadai sudah lumrah dan menjadi budayanya mereka. Mandi dan buang air secara beramai-ramai di sungai dan tempat-tempat terbuka lainnya bukan hal yang aneh bagi mereka. Sehingga demikian maka patutlah kita simak pepatah Aceh yang menyebutkan : “Meunyö kon droe mandum gob, meunyö kon ie mandum luhob dan meunyo kon pageue mandum jeuneurob”(kalau bukan diri semua orang. Kalau bukan air semua lumpur dan kalau bukan pagar semua tiang). Untuk itu orang Aceh berkesimpulan : “Bu bit, ie bit, ma droe, du droe, biek droe dan nanggroe droe”.

Monday, March 17, 2008

TAMADDUN ACEH

Tamaddun berasal dari perkataan Arab maddana yang berarti membina suatu Bandar/kota atau seseorang masyarakat yang mempunyai peradaban. Perkataan tamaddun dapat diartikan kepada keadaan hidup bermasyarakat yang bertambah maju. Istilah-istilah lain yang sama pengertiannya dengan tamaddun adalah : umrah, hadarah, madaniah. Dalam bahasa Inggris, istilah yang hamper sama dengan tamaddun adalah: “culture dan civilization” atau kebudayaan dalam bahasa melayu.

Tamaddun Aceh pernah jaya raya pada masa kerajaan Peureulak, Samudera Pasee dan masa Iskandar Muda sebagai side effect daripada kemantapan system pendidikan yang ada. Zawiyah Buket Cebrek, Zawiyah Cot Kala dan Jami’ah Baiturrahman telah berhasil mengangkat peradaban Islam Aceh keseluruh penjuru Asia Tenggara. Pada masa itu pula Aceh memiliki banyak ulama,intelektual,pakar politik,dan pedagang-pedagang beken. Pada masa kerajaan Peureulak dan Samudera Pasee Aceh dapat mengembangkan Islam dan Ilmu pengetahuan sampai ke Pattani (Thailand Selatan), Moro (Filipina Selatan). Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Jawa.

Sementara pada masa Al-Qahhar Aceh dapat menjalin hubungan internasional yang erat dengan Negara-negara dikawasan eropah terutama sekali dengan turki. Dan pada masa Iskandar Muda menjadi lima besar Negara adidaya Islam di permukaan bumi. Semua itu menjadi sisi penting manifestasi tamaddun dan peradaban masa silam bagi Naggroe Aceh Darussalam.

Peradaban Aceh masa silam susah dipisahkan dengan Islam, boleh jadi karena ia bangkit dan jaya bersama maju dan jayanya Islam di Aceh dan Nusantara. Sebagai sebuah agama komplit dan komprehensif, Islam mempunyai system peradaban muslihat dan bermartabat. System tersebut telah turun dan membaur dengan peradaban Aceh melalui penyebaran Islam semenjak dari Peureulak, Samudera Pasee, Kerajaan Aceh Darussalam sampai kepada kepemimpinan para ulama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).

bersambung............................


*)Sumber : Buku Tamaddun Aceh

Saturday, March 01, 2008

HIKAYAT PRANG SABII

Salam alaikum walaikôm teungku meutuah
Katrôk neulangkah neulangkah neuwôe bak kamôe
Amanah nabi ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah ya Allah pahala prang sabi

Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat
Beuthat beutanl ya Allah nyawoung lam badan
Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf
Keunan datang l ya Allah pemuda seudang

Dimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jiprh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupudük sajan ya Allah ateuh kürüsi

Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah ya Allah geusampôh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang ya Allah seunang lam hatee

Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadôh di badan
Geuganto l tuhan ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu mayang ya Allah Aceh mulia

Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe pô sidroe pô syukur keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beusuci Aceh mulia

Tajak prang meusôh beureuntôh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu pô yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe rôh
Syuruga tan roeh rugoe rôh bala neuraka

Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teubuh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindông gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia

Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah peulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi

Budiyadari meuriti di dông dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judô teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi.

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,